Oleh: Farlytofen
Setiap tanggal 1 Juni, kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Sebuah momen sakral yang mestinya bukan sekadar seremonial, melainkan juga ajang refleksi mendalam. Selama ini, Pancasila seringkali diperbincangkan dalam ranah retorika, sebagai dasar negara yang luhur, ideologi pemersatu, dan filosofi bangsa. Namun, di tahun 2025 ini, sudah saatnya kita beranjak dari sekadar kata-kata indah menuju aksi nyata; membumikan nilai-nilai Pancasila secara konkret dalam setiap jengkal kebijakan publik.
Pancasila, dengan lima silanya—Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—bukanlah sekadar teori. Ia adalah kompas moral dan etika yang seharusnya memandu setiap keputusan yang diambil oleh para pembuat kebijakan. Jika Pancasila hanya berhenti di tataran wacana, maka ia akan kehilangan daya transformatifnya, dan masyarakat akan semakin merasa tidak peduli lagi terhadap relevansinya.
Lantas, bagaimana kita bisa membumikan Pancasila dalam kebijakan publik di tahun 2025 ini? Pertama, prinsip Keadilan Sosial [sila ke-5] harus menjadi prioritas utama. Ini berarti setiap kebijakan ekonomi, pembangunan infrastruktur, hingga alokasi anggaran, harus berorientasi pada pemerataan dan pengurangan kesenjangan. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok atau wilayah tertentu, sementara sebagian besar masyarakat terpinggirkan. Program-program pengentasan kemiskinan, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta perlindungan sosial yang inklusif harus menjadi wajah nyata keadilan sosial.
Kedua, semangat Persatuan Indonesia [sila ke-3] perlu diterjemahkan dalam kebijakan yang mengakomodasi keberagaman. Indonesia adalah negara multikultural, dan kebijakan publik harus mampu menjadi perekat, bukan pemicu perpecahan. Ini termasuk memastikan setiap regulasi tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Ruang dialog yang sehat dan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat dalam perumusan kebijakan adalah esensial untuk memperkuat persatuan.
Ketiga, nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan [sila ke-4] menuntut adanya partisipasi publik yang substansial. Kebijakan tidak boleh lahir dari ruang tertutup, melainkan harus melibatkan aspirasi rakyat. Mekanisme konsultasi publik yang efektif, transparansi dalam pengambilan keputusan, dan akuntabilitas pemerintah menjadi kunci. Ini bukan hanya soal memenuhi prosedur, melainkan memastikan bahwa suara rakyat didengar dan dipertimbangkan secara serius.
Membumikan Pancasila dalam kebijakan publik juga berarti menegakkan nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab [ sila ke-2] . Ini tercermin dari penegakan hukum yang tidak pandang bulu, perlindungan hak asasi manusia, serta kebijakan yang humanis dan berkeadilan. Contohnya, sistem peradilan yang mampu memberikan keadilan sejati bagi korban dan pelaku, serta kebijakan lingkungan yang menjaga keseimbangan alam demi keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Tahun 2025 adalah momentum krusial. Pemerintah yang baru terpilih, dengan mandat dari rakyat, memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa Pancasila bukan hanya sekadar ornamen pidato, melainkan jiwa yang menggerakkan setiap langkah pembangunan. Mari kita tuntut dan dorong para pembuat kebijakan untuk tidak lagi hanya beretorika, melainkan sungguh-sungguh mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap produk hukum dan program pembangunan. Hanya dengan cara inilah, Pancasila akan benar-benar hidup dan relevan, menjadi fondasi kokoh bagi Indonesia yang lebih adil, makmur, dan beradab.
https://shorturl.fm/xlGWd