Oleh: Heraklitus Efridus (Presidium Gerakan Kemasyarakatan, PMKRI Cabang Ruteng)
Danau Rana Mese, NTT. Kaki ini melangkah pelan, menyusuri jalan setapak yang dibelah akar-akar pohon tua. Pada sisi kiri dan kanan jalan terdapat pepohonan khas hutan. Suara dedaunan berbisik digoyangkan angin, sesekali terdengar kicau burung yang tidak mampu saya lihat rupanya. Tepat beberapa meter jaraknya dari tempat saya melangkah terdapat Danau Rana Mese yang sedang memantulkan bayangan langit biru. Nampaknya seperti cermin raksasa yang tak akan pernah retak. Di tengah hutan, dalam kesendirian, saya merasa seluruh dunia sedang berpaling, hanya ada saya, hutan, dan danau yang setia mendengarkan.
“Di dalam kesendirian di tengah hutan yang sejuk, saya merasa seperti telah kembali sepenuhnya ke dalam diri sendiri, mencintai diri dengan sepenuhnya,” Demikianlah coretan saya dalam buku harian. Alam, dengan caranya yang sunyi, selalu mampu mengingatkan kita untuk back to nature, yang adalah awal kehidupan: murni, lugu, sederhana, dan tanpa pencitraan.
Tetapi hari ini, renungan itu telah dibayangi kegelisahan. Kesejukan hutan dan ketenangan Danau Rana Mese terasa seperti oasis yang perlahan mengering. Telah terdengar pada belahan lain negeri, proyek-proyek strategis negara telah mengakibatkan terjadinya penggusuran pepohonan, pengeringan terhadap sungai, dan mengubah wajah alam menjadi beton. Data Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, dalam lima tahun terakhir, deforestasi mencapai rata-rata 600 ribu hektar per tahun. Angka yang selalu membuat jantung ini berdegup tak karuan.
“Akankah generasi yang akan datang nanti akan juga menikmati udara segar serta hutan alami nan asri seperti sekarang ini”? tanya saya pada angin yang berlalu. Tak ada jawaban, hanya bisikan liar yang seolah berkata, “Itu tergantung pada pilihan manusia sekarang.”
Alam sebagai Cermin Peradaban
Seorang Filsuf Yunani kuno pernah mengatakan, “Alam tidak pernah berbohong.” Selayaknya cermin, dia akan menampilkan kembali apa yang telah tampil di depannya dengan suatu kecepatan yang tak terukur oleh pikiran manusia. Di Danau Rana Mese, saya kemudian menyadari bahwa apa yang telah diungkapkan oleh sang filsuf itu benar adanya. Pada sisi yang lain, jernihnya air danau Rana Mese merupakan cerminan dari pikiran yang tenang, sedang hutan yang rimbun adalah simbol kehidupan yang berkelanjutan. “Lalu bagaimana ketika alamnya rusak?” Pertanyaan itu sengaja saya lontarkan tatkala melihat seekor kupu-kupu yang hinggap pada ujung ranting nanti rapuh “Maka apa yang tercermin adalah keserakahan dan ketidakpedulian.” Seakan begitulah dia menjawab.
Ancaman yang Tak Bisa Diabaikan
Pembangunan infrastruktur memang penting, tapi apakah harus mengorbankan paru-paru bumi? Di Kalimantan, hutan-hutan primer dikonversi untuk tambang dan lokasi proyek food estate. Papua, proyek jalan trans-Papua yang juga proyek food estate mengancam ekosistem endemik. Di sini, di NTT, persoalan geothermal muncul pasca penetapan pulau Flores sebagai pulau panas bumi. Isu ekologis mulai mencuat. Pertambangan nikel di Raja Ampat yang menggemparkan seantero Indonesia bahkan dunia.
“Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami ingin pembangunan yang tidak memutus generasi mendatang dari hak mereka merasakan alam,” kata seorang aktivis lingkungan
Jangan sampai suatu saat nanti kita baru akan menyadari bahwa benar apa yang dikatakan Gorbatscow, orang komunis itu bahwa “orang terlambat dihukum oleh sejarah”. Kita tidak dapat menyangkal diri bahwa sebagai subjek sejarah dunia, kita bertindak untuk menjadi bebas dan damai sekaligus sebagai pengacau kedamaian itu (hal ini berkaitan dengan ketidaksadaran, mengerut hasil bumi tanpa berpikir sedang memotong tali nyawa di kemudian hari)
Kembali ke Mode Awal
Ini merupakan sebuah alasan mengapa kemudian kita harus selalu kembali ke hutan. Di tengah gemuruh modernitas dan bisingnya dunia, tempat-tempat seperti Danau Rana Mese mengingatkan kita untuk seperti kembali ke mode awal kehidupan. Alam adalah charger alami yang memberikan energi dan kekuatan baru dalam jiwa kemanusiaan kita. Tapi berapa lama lagi kita bisa menikmatinya? kalau hutan-hutan seperti ini lenyap, di mana lagi manusia akan menemukan dirinya sendiri?
Sebelum meninggalkan danau, aku meletakkan telapak tangan di permukaan air. Dingin, sejuk dan menyegarkan. Dalam hatiku berjanji pada diri sendiri: “aku akan menceritakannya, agar dunia tahu bahwa ada surga yang harus diselamatkan.”
Danau Rana Mese mungkin hanya satu titik di peta wisata bagi banyak wisatawan, tetapi bagi saya ia telah mewakili jutaan suara alam yang bisu. Apabila kita tidak mendengarkannya sekarang, suatu hari nanti, kesendirian di hutan bukan lagi pilihan tetapi kenangan.