Oleh : Yafanfridus Sumaryono(mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng)
Langkah salah yang pernah aku jalankan,
Adalah jejak keliru yang tak bisa kuhapuskan.
Ungkapan sesal, terucap lirih dalam diam,
Saat hati ini mulai sadar… siapa yang paling dalam aku abaikan.
Dulu…
Engkau mengawasiku setiap waktu,
Dengan mata lembut yang tak pernah tertutup oleh lelah.
Kau hadir, bahkan dalam bayang,
Saat aku merasa diriku telah dewasa dan tahu arah.
Terlalu banyak drama yang kubuat,
Untuk menepis kasihmu yang tak pernah meminta balas.
Kau hanya ingin aku tak tersesat,
Namun aku menolakmu, seakan aku bebas dari batas.
Malam itu…
Engkau diam-diam mengikutiku,
Langkah kakimu perlahan, seolah enggan kehilangan.
Namun aku,
Dengan sikap keras dan kata-kata tajam,
Mengusirmu dari ruang tempat aku bertumbuh.
Aku berkata: “Aku tak butuh diawasi.”
Sikapku arogan,
Sementara hatimu masih memanggil namaku dengan penuh kasih.
Malam itu menjadi batas,
Antara hadirmu yang dulu dan jarak yang kini membeku.
Sejak itu…
Kau tak lagi menasehati panjang,
Hanya sepatah dua, cukup—karena kau tahu aku menolak.
Namun diam-diam,
Hatiku mulai sepi…
Tak ada lagi pelukan hangat di pagi hari,
Tak ada lagi teguran lembut saat malam tiba.
Aku rindu.
Akan kehangatan yang dulu aku tolak mentah.
Ibu…
Ya, Ibu!
Sosok yang dulu kugusur dari ruang hidupku,
Kini kusebut dalam doa,
Dalam isak yang kutahan di balik selimut malam.
Andai waktu bisa kuputar,
Malam itu tak akan pernah kuizinkan terjadi.
Malam saat aku membuang tanganmu,
Yang selama ini adalah pelindung sejati.
Ibu…
Kini aku hidup dalam gelisah,
Antara ingin memohon pelukan itu kembali,
Dan malu karena dulu aku terlalu pongah untuk menghargai.
Namun jika kau mendengar bisikan hatiku,
Dari balik doa dan sesal yang diam,
Ketahuilah…
Anakmu ini ingin pulang.
Pulang ke pelukanmu yang dulu selalu ada…
Tanpa syarat.