DEGRADASI INTELEKTUAL DI ERA DIGITAL: KETIKA KEBODOHAN MENJADI KOMODITAS UTAMA

OPINI34 Dilihat

Di tengah ledakan informasi yang seharusnya mengantarkan kita pada pencerahan kolektif, paradoks menyedihkan justru terjadi masyarakat kita dengan sukarela menenggelamkan diri dalam lautan konten yang secara sistematis mendegradasi kecerdasan. Platform media sosial yang seharusnya menjadi ruang demokrasi pengetahuan telah bermetamorfosis menjadi pasar raya kebodohan yang diperjualbelikan dengan mata uang perhatian.

  1. Algoritma: Arsitektur Pembodohan Terstruktur

Jangan tertipu dengan narasi bahwa algoritma bersifat netral. Tidak mereka adalah instrumen bisnis yang dirancang dengan presisi untuk memperdagangkan perhatian Anda. Platform-platform digital ini beroperasi dengan satu tujuan fundamental: memaksimalkan waktu yang Anda habiskan dalam ekosistem mereka, tanpa peduli dampaknya terhadap kesehatan intelektual kolektif masyarakat.

Algoritma ini dengan cerdik mengeksploitasi kelemahan kognitif manusia, menyajikan konten yang merangsang respons emosional primitif kemarahan, kegelisahan, atau hiburan dangkal alih-alih mendorong pemikiran kontemplatif. Hasilnya? Lanskap digital yang dipenuhi konten tanpa substansi, yang memanjakan naluri-naluri terendah kita dengan mengabaikan potensi intelektual tertinggi yang kita miliki.

  1. Komplicitas Kolektif: Masyarakat sebagai Kolaborator Pembodohan

Namun, terlalu naif untuk sekadar menyalahkan algoritma. Kita masyarakat digital adalah kolaborator aktif dalam degradasi ini. Dengan setiap scroll, like, dan share terhadap konten tanpa substansi, kita secara tidak langsung turut melegitimasi dan memperkuat ekonomi kebodohan ini.

Generasi muda kita tumbuh dalam lingkungan digital yang mengajarkan bahwa validasi sosial datang dari konformitas terhadap banalitas, bukan dari keberanian berpikir kritis. Mereka dihadapkan pada dilema Faustian: popularitas instan melalui kebodohan atau relevansi intelektual yang membutuhkan usaha dan sayangnya, pilihan pertama seringkali menang.

  1. Implikasi Katastrofik: Dari Ruang Digital ke Ruang Publik

Degradasi ini bukan sekadar fenomena terisolasi di ruang digital. Ia telah menginfeksi diskursus publik kita, mengerodasi kemampuan kolektif untuk menghadapi tantangan kompleks yang dihadapi masyarakat. Ketika masyarakat terbiasa dengan diet intelektual yang terdiri dari meme dan video 15 detik, bagaimana mungkin kita berharap mereka memiliki kapasitas untuk memahami kompleksitas isu-isu seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, atau transformasi teknologi?

Lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini menciptakan kerentanan terhadap manipulasi informasi. Masyarakat yang terbiasa dengan konten tanpa substansi adalah target empuk untuk disinformasi dan propaganda mereka telah kehilangan “otot kognitif” untuk memfilter dan menganalisis informasi secara kritis.

  1. Imperatif untuk Transformasi Radikal

Solusi parsial tidak akan cukup menghadapi krisis intelektual ini. Kita membutuhkan transformasi radikal dalam cara kita berinteraksi dengan teknologi dan informasi:

  • Rekayasa Ulang Algoritma: Platform digital harus dipaksa untuk merekayasa ulang algoritma mereka, bukan hanya untuk memaksimalkan engagement, tetapi juga untuk mempromosikan konten yang mendorong pertumbuhan intelektual dan wacana sehat.
  • Revolusi Literasi Media: Sistem pendidikan kita memerlukan reformasi mendasar untuk mengintegrasikan literasi media kritis bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kapasitas untuk memahami, mengevaluasi, dan merespons konten digital secara kritis.
  • Pertanggungjawaban Kolektif: Sebagai konsumen konten, kita harus mengakui tanggung jawab kita dalam ekosistem informasi. Setiap interaksi kita dengan konten digital adalah pernyataan nilai pilihan untuk mengkonsumsi dan membagikan konten berkualitas adalah tindakan politik yang mendefinisikan lanskap digital kita.
  1. Epilog: Memilih Masa Depan Intelektual Kita

Di persimpangan kritis ini, kita dihadapkan pada pilihan fundamental: terus menyerah pada arus pembodohan sistemik, atau dengan berani mengklaim kembali ruang digital sebagai arena untuk pertumbuhan intelektual dan wacana bermakna.

Jika kita gagal bertindak sekarang, kita berisiko menciptakan generasi yang kaya informasi namun miskin pemahaman, yang terhubung secara digital namun terisolasi secara intelektual. Masa depan peradaban kita bergantung pada keberanian kita untuk menolak konformitas terhadap kebodohan dan menegaskan kembali nilai pengetahuan, pemikiran kritis, dan diskursus bermakna dalam lanskap digital kita.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu tetapi apakah kita memiliki keberanian moral dan intelektual untuk melakukannya?.

 

Editor: Farly Tofen (Biro Pers dan Publikasi PMKRI Ruteng)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *