Bu Sari, seorang janda dengan tiga anak, hidup di kampung Sukamulya yang terlupakan. Lima tahun ia berjuang sendirian setelah suaminya meninggal, menjual sayur keliling untuk menghidupi keluarga. Kampung mereka tidak memiliki listrik dan jalan rusak parah yang berlubang-lubang, membuat akses transportasi sangat sulit.
“Mama, kenapa lampu di rumah kita tidak menyala seperti di kota?” tanya Dini, putrinya yang berusia sepuluh tahun. Bu Sari hanya bisa menjawab dengan sabar, meski hatinya pedih melihat anak-anaknya kesulitan belajar tanpa penerangan yang memadai.
Bertahun-tahun Bu Sari dan warga lainnya mengajukan permohonan ke kepala desa untuk perbaikan jalan dan pemasangan listrik, namun selalu mendapat janji kosong. Ketika akhirnya mereka datang bersama-sama ke kantor kepala desa, Pak Sutrisno malah berkata, “Kalau mau cepat, kalian harus bisa mendukung program-program saya.” Bu Sari paham maksudnya – bantuan hanya untuk yang mendukung secara politik.
Frustrasi dengan diskriminasi ini, Bu Sari memberanikan diri menulis surat pengaduan ke berbagai pihak, termasuk media. Keberaniannya membuahkan hasil ketika wartawan datang meliput kondisi memprihatinkan kampung mereka. Berita berjudul “Desa Terlupakan: Ketika Kemiskinan Bertemu Diskriminasi” langsung viral dan menarik perhatian publik.
pertama lampu menyala, anak-anak berlarian gembira di jalan yang terang benderang.
Setahun kemudian, kampung Sukamulya berubah total. Bu Sari membuka warung, Dini berprestasi di sekolah dengan cita-cita menjadi guru. Yang terpenting, warga belajar bahwa perubahan tidak datang dengan diam – perlu keberanian bersuara dan berjuang.
“Dini, mama berharap kamu belajar yang rajin. Suatu hari nanti, kalau kamu sudah jadi insinyur, kamu yang akan membangun jalan dan memasang listrik di kampung kita,” pesan Bu Sari dengan mata berbinar harapan. “Iya Ma, saya akan belajar keras. Nanti saya yang akan membangun kampung ini supaya tidak ada lagi anak-anak yang kesulitan belajar seperti saya sekarang,” jawab Dini dengan tekad bulat.
Meski kampung Sukamulya masih berada di ujung harapan dengan kondisi yang memprihatinkan, benih-benih perubahan sudah mulai tumbuh di hati generasi mudanya. Harapan itu terus menyala, menunggu saatnya untuk diwujudkan oleh tangan-tangan muda yang tidak menyerah pada keadaan.
Penulis : Simon Cascia (anggota muda PMKRI Ruteng)
Editor : Farly Tofen (Biro Pers dan Publikasi PMKRI Ruteng)