Masuk Sekolah, Tapi Lewat Kantor Pajak Dulu

BERANDA, OPINI39 Dilihat

Ibarat sebuah rumah sakit yang tidak menerima pasien gawat darurat karena belum menyelesaikan pembayaran, sekarang sekolah pun bertransformasi—bukan lagi tempat belajar, tetapi tempat pemeriksaan pajak. Itulah analogi yang menggambarkan kebijakan pemerintah kabupaten Manggarai baru-baru ini melalui surat edaran Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Kebijakan tersebut mencakup Instruksi yang mewajibkan penyertaan bukti pelunasan PBB P2 saat penerimaan siswa baru di tingkat TK – SMP. Kebijakan ini mencerminkan bagaimana pendidikan, yang seharusnya bebas hambatan dan inklusif, justru dilengkapi dengan pagar administratif yang tidak bisa dilewati oleh semua keluarga. Alih-alih mempermudah akses pendidikan, pemerintah malah menjadikannya sarana untuk menekan orang tua agar segera membayar pajak. Alih-alih mencari cara untuk meningkatkan kesadaran membayar pajak, mereka justru mengalihkan tanggung jawab kepada anak-anak yang belum bisa,,membaca.

Secara substansial , kebijakan ini telah bertentangan dengan mandat konstitusi kita yang secara jelas menyatakan: Pendidikan adalah hak dasar sebagai warga negara, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan. Secara harfiah, benar bahwa pendidikan dasar (SD-SMP) adalah hak dan kewajiban negara untuk membiayai, artinya harus tanpa biaya ilegal atau beban administratif yang menghalangi akses, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu. Kebijakan pemerintah tersebut juga bertentangan dengan isi UUD 1945 pada Alinea ke-4 yang menyatakan “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” secara implisit dalam kutipan UUD 1945 pada Alinea ke-4 di atas menggambarkan bahwa salah satu tujuan utama negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghasilkan intelektual, yang berarti instruksi itu bersifat fundamental dan ideologis yang harus menjadi landasan dari semua kebijakan pendidikan, bukan hanya sekedar program teknis. Ini berarti bahwa semua kebijakan yang malah menghalangi akses Pendidikan,, seperti menjadikan bukti pajak sebagai syarat masuk sekolah berpotensi mencedrai tujuan luhur konstitusi ini.
Apakah anak dari keluarga miskin harus membayar harga sosial atas ketidakmampuan orang tuanya dalam memenuhi kewajiban pajak? Apakah cita-cita seorang anak harus kandas di depan gerbang sekolah hanya karena selembar bukti pelunasan PBB? Jika ya, maka negara telah gagal membedakan antara urusan pendapatan daerah dan misi mencerdaskan bangsa. Pendidikan seharusnya menjadi alat pemerataan, bukan alat penyaringan berdasarkan status ekonomi.
Sudah saatnya pemerintah membuka Kembali matanya untuk melihat, Pendidikan jangan dipandang sebagai biaya tetapi harus diapandang sebagai investasi masa depan dan Jika tujuan utamanya adalah meningkatkan kepatuhan pajak, lakukan itu dengan pendekatan yang bijak dan manusiawi. Jangan menjadikan sekolah sebagai medan kompromi fiskal. Anak-anak tidak layak menanggung konsekuensi kebijakan yang gagal membedakan mana hak, mana kewajiban. Jangan biarkan langkah pertama mereka menuju masa depan dibatasi oleh tembok yang bernama: pajak.

 Penulis : Heri Harjo ( Anggota biasa PMKRI Ruteng)

 

Editor : Farly Tofen

(Biro Pers dan Publikasi PMKRI Ruteng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *