Oleh : Safridus Aduk(Biro Alumni PMKRI Ruteng)
Surat edaran Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai tanggal 24 Juni 2025, yang mewajibkan calon peserta didik pada jenjang TK, SD, dan SMP untuk menyertakan bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dalam proses pendaftaran, patut dikaji secara kritis. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi membatasi hak anak untuk memperoleh pendidikan serta menimbulkan ketimpangan sosial yang bertentangan dengan semangat keadilan.
Pertama, kebijakan tersebut mengarah pada pelanggaran hak dasar anak dalam memperoleh pendidikan. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, menjadikan bukti pelunasan pajak sebagai syarat administrasi pendaftaran jelas merupakan bentuk pembatasan hak yang bersyarat, dan berpotensi menghambat anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan.
Kedua, kebijakan ini bersifat diskriminatif terhadap kelompok masyarakat rentan. Tidak seluruh masyarakat memiliki aset berupa tanah atau bangunan, khususnya mereka yang tinggal di wilayah miskin, terpencil, atau yang tidak memiliki kepemilikan legal atas tempat tinggalnya. Menurut Dr. Suyanto, Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, “Pendidikan harus menjadi alat pembebasan dari belenggu kemiskinan, bukan menjadi beban tambahan yang memperparah ketimpangan.” Dengan demikian, kebijakan ini justru akan memperdalam ketidakadilan struktural dan mempersempit peluang pendidikan bagi anak-anak dari kelompok miskin.
Ketiga, kebijakan ini dapat menjadi penghambat dalam pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Pemerintah telah mencanangkan target lahirnya generasi unggul yang cerdas, sehat, berkarakter, dan kompetitif secara global pada tahun 2045. Visi ini hanya dapat terwujud apabila seluruh anak Indonesia memiliki akses setara terhadap pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang mendidik akal budi dan watak.” Jika hak tersebut dibatasi karena faktor ekonomi keluarga, maka kita telah menciptakan penghalang bagi terbentuknya generasi masa depan yang tangguh dan berdaya saing.
Keempat, solusi yang lebih adil dan inklusif seharusnya menjadi pilihan utama. Pemerintah daerah perlu memisahkan urusan fiskal dengan hak pendidikan anak. Kesadaran membayar pajak bisa dibangun melalui pendekatan edukatif dan insentif berbasis partisipasi, bukan melalui syarat administratif yang berpotensi merugikan anak-anak. Mengutip pendapat Prof. Arief Rachman, “Pendidikan adalah tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, dan tidak boleh menjadi beban yang menghalangi generasi muda dalam meraih masa depan.”
Oleh karena itu, surat edaran ini sepatutnya ditinjau ulang secara menyeluruh agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap akses pendidikan anak. Pemerintah harus menjamin bahwa tidak ada satu pun anak yang kehilangan haknya untuk belajar hanya karena orang tuanya belum mampu membayar pajak. Pendidikan adalah hak mutlak, bukan hadiah yang diberikan berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga. Menjaga akses pendidikan yang setara adalah fondasi utama menuju Indonesia yang lebih adil dan maju di masa depan.
Editor : Farly Tofen (Biro Pers dan Publikasi PMKRI Ruteng)