MENJAWAB KLARIFIKASI DISDIKPORA MANGGARAI: EDUKASI ATAU DISKRIMINASI? KONTROVERSI SURAT WAJIB PAJAK UNTUK SEKOLAH DI MANGGARAI

OPINI34 Dilihat

Setelah menuai banyak penolakan atas surat edaran (SE) yanng telah dikeluarkan, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Manggarai kemudian menyampaikan klarifikasi maksud dan tujuan SE tersebut.  Klaim Disdikpora Manggarai bahwa surat edaran tentang kewajiban melampirkan bukti pelunasan pajak saat pendaftaran sekolah hanyalah bersifat “internal”, “edukasi”, dan “tidak menghalangi hak anak” terdengar mulia di permukaan. Namun, ketika disandingkan dengan teks surat,  klaim tersebut ibarat bangunan megah berfondasi rapuh  retak retak logika dan potensi dampak buruknya terlihat jelas. Kata “Wajib” merupakan duri dalam daging klarifikasi.

Pihak Disdikpora Manggarai bersikeras bahwa surat itu bukan larangan. Akan tetapi mari kita pahami teksnya: “wajib melampirkan bukti pelunasan pajak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “wajib” berarti harus dilakukan, tidak boleh tidak dilakukan; harus dipenuhi. TITIK!

Secara harfiah dan prosedural, surat ini menyatakan bahwa salah satu syarat administrasi untuk mendaftarkan anak ke sekolah adalah melampirkan bukti bahwa orang tua telah melunasi pajaknya. Tanpa bukti lunas itu, syarat administrasi tidak terpenuhi.

 

Pertanyaan mendasar yang tak terjawab: Pertama. Bagaimana dengan keluarga yang belum mampu? Klarifikasi yang telah dikeluarkan di media mengatakan bahwa tidak ada larangan anak sekolah hanya karena pajak belum lunas. Tetapi logikanya “wajib melampirkan bukti lunas” bertolak belakang dengan pernyataan ini. Jika orang tua seorang anak, karena penghasilan pas-pasan atau terdampak bencana, belum mampu melunasi pajak ( Pajak Bumi dan Bangunan – PBB-P2), bagaimana caranya mereka memenuhi syarat “wajib” melampirkan bukti lunas tersebut? Apakah mereka diminta melampirkan bukti belum lunas? Tentu tidak. Surat jelas menyebut “bukti pelunasan pajak”. Konsekuensinya jelas: anak dari keluarga yang belum mampu melunasi pajak berisiko tidak dapat melakukan pendaftaran karena berkas administrasi tidak lengkap. Klaim “tidak menghalangi hak anak” pun menjadi sangat absurd. Praktik ini berpotensi besar menjadi pembatasan akses pendidikan berbasis status ekonomi orang tua, yang bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif dan kewajiban negara menyediakan pendidikan dasar (bahkan hingga menengah) yang terjangkau bagi semua.

Kedua.Untuk Apa Kepala Sekolah Mendata Tunggakan Pajak Orang Tua? Klarifikasi menyatakan data ini sebagai “pegangan bagi kepala sekolah”. Ini poin yang sangat mengkhawatirkan dan menimbulkan pertanyaan besar: Apa relevansi tunggakan pajak orang tua dengan proses pendidikan anak di sekolah? Apa tujuan operasional kepala sekolah mengetahui status pajak orang tua murid?

Di sini dapat kita lihat dan rasakan akan potensi stigmatisasi dan perlakuan tidak adil. Sangat sulit membayangkan data ini tidak mempengaruhi persepsi sekolah (guru, kepala sekolah, bahkan staf administrasi) terhadap siswa tertentu. Anak dari keluarga yang belum melunasi pajak berisiko tinggi mengalami stigmatisasi terselubung. Apakah dia akan dipandang sebagai anak dari keluarga nakal yang tidak taat kewajiban negara? Bisakah kita menjamin tidak akan ada komentar bernada menyindir, “Sampaikan ke ayahmu, PBB-nya segera dilunasi,” di depan kelas? Atau, lebih halus lagi, apakah anak ini akan kurang diperhatikan karena label ekonomi yang melekat pada orang tuanya? Kita perlu melihat sesuatu dari segala sesuatu.

Hal ini juga bisa menjerumuskan anak menjadi sebagai Debt Collector. Skenario terburuk yang sangat mungkin terjadi adalah sekolah merasa bertanggung jawab mengingatkan orang tua melalui satu-satunya saluran yang mereka miliki yaitu si anak. Anak bisa menjadi perantara pesan koleksi pajak. Bayangkan tekanan psikologis yang dialami seorang anak SD atau SMP yang harus terus-menerus menyampaikan pesan dari guru atau kepala sekolah kepada orang tuanya untuk segera melunasi pajak. Ini bukan ranah pendidikan anak. Ini adalah pembebanan tanggung jawab negara (pemungutan pajak) ke pundak institusi pendidikan dan, lebih tragis, ke pundak anak-anak. Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk berkembang, bukan ajang pemaksaan kewajiban finansial orang tua.

Saya menyimpulkan ini sebagai bentuk edukasi yang salah sasaran dan salah metode. Dalam bahasa Advokat sekaligus akademisi hukum, Dr. Siprianus Edi Hardum, S.H.,M.H kebijaka ini merupakan “kreatif dalam kebodohan”, (bdk. SaranaInformasi.com, edisi 28 Juni 2025).

Disdikpora Manggarai beralibi bahwa ini adalah bentuk edukasi pentingnya pajak bagi masyarakat. Tujuannya mungkin baik, tetapi metodenya cacat dan sasarannya salah total.

Saya menilai ini sebagai kebijakan yang salah sasaran dengan pertimbangan bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan untuk anak, bukan lembaga penagihan pajak untuk orang dewasa. Mengaitkan akses pendidikan anak dengan kewajiban pajak orang tua adalah bentuk penyanderaan tidak langsung. Edukasi pajak seharusnya dilakukan melalui kanal yang tepat: sosialisasi langsung ke masyarakat oleh instansi pajak (DJP), melalui media, atau program kemasyarakatan, BUKAN dengan menjadikan pendaftaran sekolah sebagai momen penagihan.

Selaini itu polanya juga menggunakan metode yang salah. Menggunakan kata “wajib” dalam syarat administrasi pendaftaran sekolah bukanlah edukasi. Itu adalah pemaksaan dan ancaman implisit. Edukasi yang benar adalah memberikan pemahaman, bukan menghadirkan konsekuensi negatif langsung terhadap hak dasar anak. Apakah Disdikpora bermaksud mengajarkan pada anak bahwa hak mereka atas pendidikan bisa digantungkan pada kemampuan finansial dan kepatuhan pajak orang tua mereka? Itu merupakan pesan moral yang sangat keliru.

Di sisi lain hal ini mengabaikan Realitas Sosio-Ekonomi. Kebijakan ini menunjukkan ketidaksiapan menghadapi kompleksitas kehidupan masyarakat. Banyak keluarga di Manggarai, seperti di daerah lain, hidup dalam ekonomi yang sulit. Ingat data angka kemiskinan kita masih pada kisaran 19,01% dua kali lipat dari rata-rata kemiskinan nasional 8,57%. Menuntut bukti lunas pajak sebagai syarat administrasi tanpa mekanisme khusus bagi yang belum mampu adalah bentuk ketidakpedulian terhadap kesenjangan ekonomi. Ini bukan edukasi, ini pemaksaan standar yang mengabaikan keragaman kondisi warga.

KLARIFIKASI VS. REALITAS: JURANG YANG MENGANGA

Klarifikasi Kepala Disdikpora Manggarai berusaha menyederhanakan dampak surat edaran, tetapi justru memperlihatkan jurang lebar antara niat yang diucapkan dan implikasi kebijakan yang ditulis.

Beliau mengatakan ini bersifat Internal akan tetapi itu menjadi syarat administrasi publik. Bagaimana mungkin dokumen yang menjadi pegangan kepala sekolah dalam menentukan kelengkapan syarat pendaftaran siswa disebut internal? Ketika dokumen itu digunakan sebagai alat verifikasi untuk proses yang melibatkan publik (pendaftaran sekolah), menurut saya itu telah keluar dari ranah internal. Itu menjadi aturan operasional yang memengaruhi masyarakat.

Beliau juga menyampaikan bahwa itu untuk “Mengingatkan Orang Tua” tetapi “Mewajibkan Bukti Lunas”.  Padahal mengingatkan bisa dilakukan dengan surat edaran terpisah yang informatif, bukan dengan menjadikannya syarat administratif yang menghambat proses. Kata “wajib” telah mengubah “peringatan” menjadi “keharusan yang menghalangi”.

Melawan anggapan massa beliau menjelaskan “Tidak Ada Larangan” akan tetapi pertanyaannya adalah  bagaimana kalau syarat harus membawa serta tanda pelunasan pajak tidak terpenuhi? Logika dasar administrasi menyatakan  jika ada syarat wajib yang tidak terpenuhi, maka proses tidak dapat dilanjutkan. Beliau menyatakan “tidak ada larangan” sementara menetapkan syarat wajib yang tidak mungkin dipenuhi sebagian orang adalah kemunafikan kebijakan.

MENUJU SOLUSI YANG BENAR-BENAR EDUKATIF DAN BERKEADILAN

Apabila Disdikpora Manggarai sungguh berkinginan untuk  mengedukasi masyarakat  tentang pajak, maka langkah mundur dari kebijakan bermasalah ini adalah keharusan. Saya mencoba untuk memberikan alternatif yang menurut saya lebih konstruktif dan tidak mengorbankan hak anak:

  1. Cabut Kewajiban Administratif: Hentikan segera penggunaan bukti lunas pajak sebagai syarat wajib pendaftaran sekolah. Akses pendidikan dasar dan menengah harus bebas dari hambatan berbasis status keuangan orang tua.
  2. Sosialisasi Murni Edukatif: Disdikpora melakukan kolaborasi dengan Kantor Pajak setempat untuk menyelenggarakan program edukasi pajak yang inklusif bagi orang tua/wali murid. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, pertama:Mengadakan seminar atau workshop tentang manfaat pajak bagi pembangunan, termasuk sektor pendidikan. Kedua:melakukan penyebaran brosur informatif yang jelas tentang jenis pajak, cara membayar, dan fasilitas bagi yang kesulitan. Ketiga:Pemanfaatan media lokal (radio, koran) dan grup komunikasi sekolah (WhatsApp) untuk menyampaikan informasi penting tentang pajak.
  3. Fasilitasi bagi yang Kesulitan: Disdikpora dapat melakukan kekerjasama dengan Direktoral Jenderal Pajak untuk memfasilitasi orang tua yang mengalami kesulitan ekonomi dalam memenuhi kewajiban pajaknya, misalnya dengan skema penjadwalan ulang (restrukturisasi) pembayaran, tanpa mengaitkannya dengan status sekolah anak mereka.
  4. Fokus pada Fungsi Pendidikan: Disdikpora wajib mengembalikan sekolah pada peran utamanya yaitu mendidik anak dengan adil dan setara, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa, tanpa membebani mereka dengan urusan finansial dan administrasi orang tua.

PENUTUP: HAK ANAK BUKAN ALAT TAWAR

Surat edaran Disdikpora Manggarai, meski diklaim berintensi baik, tetapi merupakan contoh klasik kebijakan yang tidak dipikirkan matang dari sisi dampak riil dan keadilan. Kata “wajib” dalam konteks syarat sekolah adalah pedang bermata dua. Di  satu sisi memaksa kepatuhan, di sisi lain berpotensi memotong akses pendidikan yang merupakan hak konstitusional anak. Saya menilai bahwa klarifikasi yang diberikan tidak menjawab kekhawatiran mendasar. Tentang bagaimana melindungi anak dari keluarga termarjinalkan secara ekonomi, dan bagaimana mencegah sekolah menjadi medan tekanan bagi anak terkait kewajiban finansial orang tuanya. Menggunakan akses pendidikan anak sebagai alat untuk mendorong kepatuhan pajak orang tua bukanlah edukasi, melainkan instrumen pemaksa yang berisiko melanggar hak anak dan memperdalam ketidakadilan. Sudah saatnya Disdikpora Manggarai mencabut kebijakan kontraproduktif ini dan mencari cara beredukasi yang lebih cerdas, manusiawi, dan benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak. Hak anak atas pendidikan yang setara dan bebas dari stigma tidak boleh menjadi alat tawar-menawar untuk kepatuhan pajak orang tua.

 

Oleh :HERAKLITUS EFRIDUS

PRESIDIUM GERAKAN KEMASYARAKATAN PMKRI

CABANG RUTENG

SANCTUS AGUSTINUS.

 

Editor : Farly Tofen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *